Hari perempuan internasional yang dirayakan setiap 8 Maret akan selalu bersinggungan dengan perayaan tubuh perempuan, dimana segala hal mengenai perempuan selalu penuh dinamika. Pertanyaan mengenai hal-hal yang dirasa tabu akan muncul. Tubuh perempuan yang masih dianggap asing akan selalu melahirkan kontradiksi. Perempuan dan Kesehatan Reproduksi menjadi menarik untuk diperbincangkan. Pilihan untuk mengenal alat reproduksi perempuan, seperti mengenal vagina, mengenal kondom wanita, tindakan sunat ilegal perempuan yang menghancurkan diri dan melecehkan perempuan, kemudian aborsi yang terbelah menjadi pro choice dan pro life, masih terus menjadi topik yang dibawa dan diperjuangkan oleh perempuan di seluruh dunia ini.
Hari Perempuan Internasional tentu saja dimaknai oleh individu dan kelompok transpuan secara mendalam, yang mana secara sosial, posisi mereka dianggap sebagai “perempuan”mungkin disetujui sekaligus dicurigai secara terus-menerus oleh masyarakat. Perjuangan mereka bukan hal yang mudah. Segala akses sudah dijangkau namun, rasa-rasanya untuk mencapai titik temu penerimaan transpuan masih jauh.
Pandangan negara terhadap transpuan masih seksis dan ada semacam ketersingkiran dibarengi dengan pandangan yang asing. Artinya kelompok ini masih berada dalam posisi yang dianggap “mengancam” ketertiban negara. Tubuh transpuan yang sering dipersekusi seperti Mira yang dibunuh secara tragis dan akhir -akhir ini banyak terjadi kekerasan di jalanan. Dengan tindakan pembacokan yang terjadi di pangkalan tempat transpuan mencari penghasilan. Salah satu transpuan muda yang sedang bekerja, terluka dibagian kepala dan pinggang oleh sabetan benda tajam. Diperkirakan kejadian pada dini hari menjelang pagi di Jembatan Besi wilayah kota Bengkulu. Hal seperti ini tentu menjadi renungan dan refleksi. Pada akhirnya pertanyaan besar muncul, kenapa tubuh transpuan terus menjadi korban?
Transpuan sebagai identitas belum mendapatkan pelayanan tentang hak kesehatan reproduksi secara berkala,kesehatan reproduksi transpuan juga membentangkan pengetahuan gender yang perlu diperiksa kembali. Bagaimana mereka bisa menerima tubuh serta diri (termasuk batin, emosi, jiwa dan pikiran) mereka. Menghadapi body dysphoria bagi transpuan masih menjadi satu hal yang menyakitkan. Karena stigma masyarakat telah mengadopsi bahwa tubuh transpuan adalah tubuh yang aneh sekaligus unik. Hal ini menjadi faktor kekerasan yang terjadi pada identitas transpuan.
Tentu saja memikirkan ulang secara terbuka hak kesehatan reproduksi perempuan yang terhubung dengan Transpuan dapat didiskusikan dari pandangan perspektif perempuan, diiringi pertanyaan serta dipenuhi dengan tuntutan lebih. Perihal mengenai pilihan mereka baik kesediaan secara lahir dan batin untuk menyesuaikan kelamin sesuai gender perempuan yang dijiwai atau tetap hanya memakai terapi hormon saja.
Seperti yang kita ketahui, pengetahuan tentang vaginoplasty di Indonesia masih terbatas. Penyesuaian tubuh dari laki-laki biologis menyesuaikan kelamin menjadi perempuan biologis ini perlu
prosedur ketat. Dimulai dari konsultasi ke psikolog, psikiater, dan Dokter bedah. Kemudian, harus menjalani pertanyaan berulang -ulang untuk meyakinkan transpuan menuju pembedahan dan pasca pembedahan. Tantangannya adalah kondisi masyarakat Indonesia yang kuat dipengaruhi agama, yang melarang mengubah ciptaan serta kebiasaan. Larangan ini dijadikan alasan untuk menentang vaginoplasty. Namun untuk transpuan yang menderita dan merasakan tidak cocok di dalam tubuh yang salah (body dysphoria). Tentu saja vaginoplasty menjadi satu tujuan untuk memperbaharui tujuan hidup yang lebih stabil dan mantap sebagai Perempuan.
Beberapa transpuan pre-op merasa sudah tidak perlu mengubah kelamin mereka, karena penerimaan diri dan tubuh mereka sendiri sudah menjadi satu tahap yang berhasil dengan catatan dan resep hormonal estrogen dan progesteron itu sudah membantu mereka untuk menerima kembali tubuh mereka. Hampir 70% transpuan tidak mengubah kelamin mereka, sedangkan, 20% transpuan lebih nyaman melakukan operasi penyesuaian kelamin.
Mami Merlyn Sopjan dalam video karya Cameo Project, “Perempuan tanpa Vagina”, mengatakan bahwa esensi menjadi perempuan bukan pada kelamin. Itu bisa ditumbuhkan melalui perilaku perempuan secara sosial dengan bertanggung jawab.
Selain dapat diproses secara prosedural untuk pengakuan sah sebagai warga negara yang berkelamin perempuan, operasi penyesuaian kelamin juga dapat mempermudah pencatatan data kependudukan. Transpuan yang melakukan vaginoplasty dapat merasakan hidup kembali, seperti perempuan sejati. Lucinta Luna bahkan melakukan operasi lebih dari sepuluh kali untuk mendapatkan citra tubuh perempuan yang mendekati sempurna. Meskipun, kesempurnaan dalam kecantikan masih terus diperdebatkan.
Prosedur vaginoplasty tentu saja harus dilakukan secara rinci dan teliti oleh tenaga medis profesional dengan biaya yang mahal. Vaginoplasty bukan hanya mempercantik vagina, melainkan menciptakan vagina oleh individu transpuan yang melakukan operasi. Selain membuat vagina dengan bedah sayatan dari jaringan kulit penis, ia juga membuat klitoris atau kelentit, yang menjadi titik kenikmatan, sekaligus mengoperasi bedah penutupan sayatan vagina.
Di dalam biografi Naomi Wolf, Vagina, ia menuliskan titik syaraf vagina terhubung antara jaringan seluruh panggul, dari vagina memutar ke bagian bokong, hingga titik-titik itu bertemu dalam saraf anus.
Tentu setelah operasi ada pemeriksaan berkala, pergantian perban, pemeriksaan tindak lanjut kesehatan secara rutin, seringkali hingga memerlukan rawat inap.
Semua prosedur vaginoplasty tentu melalui proses panjang. Tidak semua organisasi non-goverment yang bergerak dalam isu Hak Kesehatan Reproduksi memfasilitasi dan memberikan edukasi mengenai vaginoplasty, karena dianggap memerlukan penanganan khusus. Tetapi, informasi Vaginoplasty seharusnya dimasukkan dalam jurnal kesehatan reproduksi sebagai pilihan individu transpuan dengan otonomi tubuhnya. Pengetahuan ini tentu diperlukan tentang bagaimana jika seorang transpuan memilih untuk melakukan tindakan operasi vaginoplasty. Hal ini dapat membantu kehidupan transpuan agar lebih sehat dan bahagia.
Perjuangan transpuan tentu harus didukung oleh pengetahuan tubuh perempuan, meskipun masih menghadapi sekat-sekat, yang akarnya mungkin kebencian terhadap tubuh yang disandang individu transpuan. Dengan mempelajari isu tubuh di masa depan, semoga ada harapan terang bagaimana tubuh transpuan berhak memperoleh perawatan tubuh dan kesehatan reproduksi yang adil dan sehat.
Ditulis oleh Jessica Ayudya Lesmana, Jurnalis konde.co untuk reportase isu tubuh.
Foto oleh charlesdeluvio diunduh dari Unsplash