Nyiwer Kendeng 18 Januari 2025: Siklus yang Memelihara, Bukan Menghancurkan

PERS RILIS JM-PPK (JARINGAN MASYARAKAT PEDULI PEGUNUNGAN KENDENG)

Sejarah kehidupan kita selalu berhubungan dengan perjalanan panjang, sebuah perjalanan yang terus berputar, dari masa lalu menuju masa depan. Di tahun 2025, Indonesia memasuki era baru, sebuah era yang dipenuhi dengan perkembangan pesat, baik dalam hal pemikiran, bahasa, maupun teknologi. Namun, bagaimana kita seharusnya memaknai kehidupan kita di masa ini? Jika kita mengingat perjuangan leluhur kita dalam melanggengkan hidup hingga masa kini. Sejatinya, Leluhur selalu mempunyai arti yang luhur.

Presiden Prabowo Subianto, yang terpilih dengan dukungan kuat dari rakyat, kini memimpin negeri ini atas nama masa depan yang cerah. Namun, kita perlu terus mengingat dan membaca ulang arah sejarah yang akan kita bentuk. Kebijakan-kebijakan yang dijalankan saat ini akan menentukan kehidupan anak dan cucu kita kelak. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut sesuai dengan nilai dan pikiran kita sebagai bangsa Indonesia?

Kebijakan yang sedang dijalankan mencakup berbagai hal, seperti peningkatan Indeks Modal Manusia (IMM), ketahanan pangan, perluasan basis pajak, serta peningkatan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan. Semua itu penting, tetapi apakah kebijakan-kebijakan ini akan sejalan dengan persoalan-persoalan wilayah Pegunungan Kendeng.

Foto bentang alam dan Pabrik Semen Tegal Dowo, Rembang, sumber: Google Earth

Jika kita menilik kembali 50-60 tahun yang lalu, alam Pegunungan Kendeng memiliki keindahan yang luar biasa. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang diturunkan dari pendahulu kita, banyak kehidupan yang berjalan karena kualitas tanah yang sekrang kita pijak ini. Namun, pada perkembangannya hingga saat ini Pegunungan Kendeng, telah mengalami perubahan signifikan dalam hal tutupan hutan dan ekosistem selama beberapa dekade terakhir. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk konversi/pengalihan lahan untuk pertanian, penambangan, dan pembangunan infrastruktur.

Grafik pemandangan tanah alami dan tereksploitasi. Sumber: Kolektif Dendang Sowan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), deforestasi di Indonesia menunjukkan tren yang signifikan. Deforestasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur mencerminkan penurunan tutupan hutan yang signifikan

(Misalnya, pada tahun 2013, Jawa Tengah mengalami deforestasi netto sebesar 51,8 ribu hektar, dan pada tahun 2014, deforestasi netto di Jawa Timur mencapai 32,8 ribu hektar.)

Aksi Banjir Kasiyan 2023. Sumber: JM-PPK

Aktivitas penambangan, terutama penambangan batu gamping untuk industri pembangunan, telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan di Pegunungan Kendeng. Penambangan ini tidak hanya menghilangkan vegetasi, tetapi juga merusak struktur geologi dan mengganggu aliran air, yang berkontribusi pada peningkatan risiko banjir dan kekeringan.

(Pada tahun 2014, banjir yang melanda sekitar 157 desa di 19 kecamatan di Jawa Tengah ditaksir mencapai kerugian Rp. 1,6 triliun. Banjir ini diyakini diperparah oleh kerusakan ekosistem Pegunungan Kendeng akibat penambangan dan gundulnya hutan. Debit volume air yang semakin lama semakin tidak bisa ditampung oleh sistem drainase dan vegetasi yang menurun.)

Masyarakat kita jelas bergantung pada alam untuk mata pencaharian mereka, seperti pertanian dan perikanan, mengalami dampak sosial dan ekonomi yang signifikan akibat kerusakan lingkungan ini.

Penting bagi kita semua untuk memahami sejarah kerusakan ekosistem ini agar dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam upaya pelestarian dan pemulihan lingkungan di Pegunungan Kendeng tanpa mengabaikan ajaran-ajaran luhur yang ada di negara Indonesia ini.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita perlu melihat ulang sekitar. Kita perlu merenungkan posisi kita sebagai manusia. Sejarah kita dimulai pada kelahiran Nabi Adam, yang menurut ajaran agama dan kepercayaan, diangkat derajatnya manusia sebagai pemimpin/khalifah di muka bumi.

Mari kita semua berpikir apa saja yang Bumi berikan, yaitu kehidupan yang seimbang dan berkecukupan. Melihat kerusakan yang terjadi banyak dilakukan oleh manusia saat ini, kita sudah menjadi perusak bagi bumi, karena tidak berhasil menjadi seorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kesimbangan alam. Mungkin kita bahkan bisa menjadi Hama yang mengganggu kehidupan tanaman dan pepohonan yang tumbuh subur di tanah pegunungan Kendeng ini. Hama saat ini bukan hanya tikus, wereng, ulat, atau jamur yang merusak, tapi juga manusia yang berpihak pada investor yang pro pada tren kerusakan alam. Seharusnya, manusia yang menyandang gelar khalifah di muka Bumi adalah menjaga dan mengelola bumi ini dengan bijak, bukan malah merusak.

Kearifan adalah ketika kita menghadapi hama sebenarnya bukan perkara membunuh atau menghilangkan banyak hama itu, kita harus berpikir seperti pohon yang pertumbuhannya mengikuti arah cahaya matahari atau pencerahan. Populasi pohon lebih bisa bertahan pada siklus alam apapun, sebab hidup tikus setiap 6-7 tahun sekali, gigi taringnya memanjang, maka tikus dengan naluri ingin bertahan hidup, merusak tanaman apa saja di dekatnya dengan cara menggigit batang pangkal tanaman secara membabi buta.

Gigi tikus yang digunakan secara rakus itu akan bertumbuh menuruti hawa nafsunya, memanjang hingga menusuk bagian mulutnya itu sendiri. Hal ini menjadi dasar bahwa seharusnya manusia lebih bisa berpikir tanpa dikuasai hawa nafsu agar tidak seperti perilaku hama tikus. Sesungguhnya, siklus hama ini adalah pengetahuan yang luhur, sebagai anugerah untuk manusia yang berpikir, agar menjadi kuat menghadapi tantangan seperti akar pohon dan selalu mencari cahaya kebenaran. Begitu juga dengan pemangku kebijakan yang seharusnya tidak hanya mementingkan kebutuhan ekonomi yang bersifat merusak alam.

Pertumbuhan Abnormal Gigi Tikus. Sumber: Google Image

Kehidupan ini selalu berputar dalam sebuah siklus, dalam tradisi tutur yang diturunkan Mbah Samin Surosentiko, dasar hidup yang berarti brahi. Brahi terbagi 3 bagian, yaitu brahi lahir (daya mewujud), brahi kawin (daya kehidupan), brahi mati (daya meninggalkan), yang berarti siklus utama dunia ini adalah kelahiran, kehidupan, dan kematian. Siklus ini tidak hanya terlihat dalam kehidupan manusia, tetapi juga dalam segala sesuatu yang ada di alam semesta.

Samin Surosentiko dan prinsip hidupnya. Sumber: Kolektif Dendang Sowan

Dalam tradisi spiritualitas banyak budaya, siklus ini dianggap sebagai prinsip dasar kehidupan. Misalnya, dalam ajaran Islam, tawaf di Makkah adalah sebuah prosesi syariat, yang mempunyai filosofi atas kesatuan umat manusia dengan alam semesta, di mana kita mengelilingi Ka’bah yang menjadi pusat dunia spiritual. Begitu juga dalam ajaran Hindu-Buddha, konsep reinkarnasi menggambarkan perputaran kehidupan yang tidak berujung, di mana setiap makhluk mengalami kelahiran dan kematian berulang kali dalam siklus yang saling terhubung. Dalam tradisi Kristen/Katolik, siklus ini tercermin dalam Paskah Kristiani, yang menandai kebangkitan Kristus setelah kematian-Nya, sebagai simbol kemenangan kehidupan atas kematian. Siklus kelahiran, kematian, dan kebangkitan ini adalah inti dari harapan umat beriman akan kehidupan kekal. Selain itu, liturgi tahunan Gereja, yang mencakup siklus masa Natal (Kelahiran Isa Almasih), Wafat Isa Almasih dan Kebangkitannya, Advent (Kenaikan), dan Pentakosta (Pencurahan Roh Kudus), mencerminkan bagaimana waktu dan kehidupan manusia diarahkan untuk kembali kepada Tuhan dalam kesatuan yang harmonis. Prinsip dasar siklus adalah keseimbangan, seperti simbol Yin-Yang pada ajaran Konghucu, keharmonisan antara gelap dan terang, menyatunya tanah yang gelap dengan langit yang terang, di antaranya kehidupan. Proses dari gelap menuju terang, Proses kehidupan dari Sang Pencipta pada alam Semesta, Alam Semesta pada Manusia, dan Manusia pada Sang Pencipta.

Maka dari itu, “Ojo Serakah! Lemah kang Gumelar iki, kabeh menungso ora diwenangno nggagahi, kabeh keno nglumahi, wong kang tumitah ning dunyo duwe hak sing podo kanggo manggon lan nyukupi butuhe urip.”

Jangan serakah! Jangan berebut! Semua yang menginjakkan di atas bumi ini mempunyai hak yang sama. Sebaiknya kita semua peduli dengan hak satu sama lain, tidak saling berebut apalagi sampai merusak.

Sejatinya, keadaan ini perlu banyak keterlibatan masyarakat dalam spirit gerakan ini dalam pelestarian alam dan lingkungan, karena tidak ada ketahanan pangan tanpa alam, tidak ada pendidikan berkualitas tanpa tutur yang arif, tidak ada pajak yang memelihara tanpa keadilan, dan tidak ada kesehatan yang terjamin tanpa kualitas lingkungan hidup yang baik. Siklus kehidupan akan selalu berputar, dan kita harus selalu optimis untuk ikut bergotong-royong dalam pelestarian alam. Adapaun Jika kita tahu bahwa besok adalah hari kiamat, maka tetaplah menanam pepohonan.

Dokumentasi Nyiwer Kendeng. Sumber: Ragil Kuswanto

Sumeleh dan Doa kepada Sang Pencipta, Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi, yang selama ini telah memberi bumi dengan segala isinya. Kita meyakini doa ini akan menjadi ruh dan spirit dalam bergerak melestarikan alam seisinya.
IBU BUMI WES MARINGI
IBU BUMI DI LARANI
IBU BUMI KANG NGADILI

SALAM KENDENG, LESTARI
Gunretno


Posted

in

Tags:

Skip to content