“…
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi”
Hanya karena lirik lagu di atas, polisi membungkam sekaligus mempermalukan dua personel Sukatani, Twister Angel dan Alectroguy. Alasannya lagu “Bayar Bayar Bayar” di album Gelap Gempita (2023) milik band punk asal Purbalingga itu mengkritik praktik korupsi yang dilakukan polisi.
Upaya ini dilakukan polisi dengan cara menculik kedua personel Sukatani yang sedang melakukan perjalanan pulang selepas manggung di Bali. Polresta Banyuwangi merupakan aktor lapangan aksi penculikan ini.
Setelah berhasil menculik, polisi mengintimidasi dua personel Sukatani untuk membuat rekaman video permintaan maaf terhadap Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan instansi kepolisian di Polresta Banyuwangi.
Video itu akhirnya dirilis pada Kamis (20/02) melalui akun media sosial Sukatani. Selain merilis video, polisi juga memaksa Sukatani menghapus lagu Bayar Bayar Bayar dari Spotify dan Youtube.
Bukannya berhasil membungkam dan mempermalukan Sukatani, bara api perlawanan di setiap daerah terhadap polisi meningkat. Apalagi pembungkaman ini justru membuat borok polisi menganga lebar.
Warisan Orde Baru
Baru berkuasa selama 100 hari lebih sedikit, Rezim Prabowo-Gibran sudah berulang kali melakukan pembungkaman karya seni. Padahal karya seni merupakan salah satu dari beribu cara rakyat mengartikulasikan kebebasan berpendapat yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Sebelumnya, ada lukisan-lukisan Yos Suprapto yang dilarang pameran di Galeri Nasional dengan alasan tak logis dari kurator, Menteri Kebudayaan, dan pihak Galeri Nasional. Ada pula penghapusan mural di Festival Dadap yang dilakukan Satpol PP.
Pembungkaman demi pembungkaman karya seni mengingatkan kita pada masa Orde Baru; sebuah rezim pembantaian massal dengan corak militeristik kental. Rezim itu melarang peredaran roman sejarah Tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer dan penghilangan karya-karya seni yang dibuat seniman-seniman (terafiliasi) Lembaga Kebudayaan Rakyat lainnya.
Dalam dunia musik, Orde Baru juga sering melakukan pelarangan. Ada lagu “Mimpi di Siang Bolong” milik Doel Sumbang karena mengkritik praktik korupsi pemerintahan. Lagu “Pak Tua dan Surat untuk Wakil Rakyat” milik Iwan Fals yang mengkritik orang berusia tua seperti Soeharto yang haus kekuasaan dan DPR yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Ada pula lagu “Hati yang Luka” milik Betharia Sonata karena dianggap cengeng, sehingga tidak memberi rakyat semangat untuk bekerja demi pembangunan ala Orde Baru.
Selain melakukan pembungkaman karya seni, memori buruk kita atas Orde Baru adalah rezim penculik dan pembunuh. Sejak awal masa kekuasaan Orde Baru, rezim itu menculik dan membunuh PKI, simpatisan PKI, dan siapapun yang dilabeli dekat dengan PKI pada 1965-1969. Tujuannya untuk melakukan kudeta militer dan membantai PKI sebagai lawan utama militer yang bercokol secara erat dalam pemerintahan. Setidaknya tercatat sekitar 500 ribu hingga 3 juta orang diculik untuk ditahan tanpa proses pengadilan. Sebagian korban dibunuh militer dan jasadnya dibuang entah di mana. Membuat hingga kini jasad para korban yang mati tidak kembali ke keluarga.
Orde Baru juga melakukan penculikan dan pembunuhan aktivis pro-demokrasi 1998, di antaranya Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, hingga Marsinah. Kemudian pembunuhan aktivis pro-kemerdekaan Timor Leste dan rakyat Timor Leste dalam peristiwa Balibo, Seroja, hingga Santa Cruz.
Meski di Indonesia memiliki Komnas HAM, tapi yang dilakukan lembaga itu sekadar menjadi notulensi masalah HAM belaka. Hal ini karena, sampai detik ini, Soeharto sebagai puncak kekuasaan Orde Baru tidak pernah diadili atas segala dosa-dosanya. Prabowo sebagai jenderal dan menantu Soeharto yang memberikan perintah penculikan aktivis pro-demokrasi 1998 juga tidak pernah diadili.
Pewaris Orde Baru
Reformasi 1998 menuntut adili Soeharto dan kroni-kroninya. Namun Prabowo bukan saja tidak diadili, ia justru berkuasa di negara yang dahulu dikuasai mertuanya. Membuktikan pekik reformasi hanyalah khayalan di siang bolong.
Kegagalan reformasi yang berkaitan dengan kasus intimidasi Sukatani adalah hapuskan dwifungsi ABRI. Tuntutan ini mengharuskan terjadinya dikotomi antara polisi dan tentara. Alih-alih dikotomi ini tercipta, justru hanya membuat berjalan beriringan sebagaimana istilah “TNI-POLRI” sering disebut media massa.
Mesranya hubungan polisi dan tentara, yang telah tercipta sejak ABRI dibentuk tahun 1962, membuat mereka berdua hanya dibedakan secara warna seragam. Perilaku mereka tetap sama: arogan, koruptif, kolusi, nepotisme, dan tentunya hanya menjadi anjing penjaga pengusaha-pengusaha super kaya yang menguasai negara ini.
Sekarang, keserasian polisi dan tentara tampak begitu jelas dengan disahkannya Revisi UU ASN. Membuat mereka dapat memiliki dua jabatan sekaligus, menjadi polisi atau tentara yang menduduki jabatan sipil.
Dalam kasus intimidasi Sukatani, polisi juga tidak menghargai batasan individu dua personel Sukatani. Pasalnya, dalam video intimidatif yang beredar itu, polisi memaksa Twister Angel dan Alectroguy untuk membuka topeng dan menyertakan nama aslinya.
Pembungkaman semacam ini sangat mungkin terus berlanjut. Apalagi Prabowo, penjahat dengan noda darah di telapak tangannya berkuasa di negara ini.
Setelah instansi kepolisian mengalami kecaman publik melalui media sosial dan aksi massa, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengatakan, “Mungkin ada miss, namun sudah diluruskan”. Kapolda Jawa Tengah Artanto juga mengatakan polisi memang sudah berupaya mengintimidasi Sukatani dengan kedok “klarifikasi”. Intimidasi ini semakin disamarkan dengan mengatakan polisi tidak antikritik, asal kritiknya “membangun”.
Seperti makian Prabowo terhadap rakyat yang mengkritik kebijakannya, kita dapat meneriaki “Ndasmu!” terhadap Kapolri dan Kapolda Jawa Tengah. Ndasmu! polisi terima kritik! Ndasmu! diluruskan agar argumentasi polisi menanggapi kritik tidak sesat pikir. Ndasmu! diklarifikasi ben pinter. Ndasmu! harus terbiasa dengan kritik agar bangun dan sadar bahwa rakyat memiliki hak kebebasan berpendapat dan rakyat adalah tuan dari polisi (atau tentara). Ndasmu!
Penulis: Vincentius Dandy Ariputra Ginola
Editor: Fiorentina Refani