Masyarakat kita, jika direnungkan lebih dalam, memiliki pola stratifikasi yang kompleks, tidak hanya soal angka pendapatan. Untuk memahami bagaimana struktur sosial mendikte ruang gerak dan risiko hidup kita, mari kita gunakan metafora baru: Tiga Kandang Ayam.
Metafora ini membagi kelas sosial menjadi tiga jenis unggas: Ayam Kampung (Kelas Bawah), Ayam Koloni (Kelas Menengah), dan Ayam Intensif (Kelas Atas). Perbedaan mendasar di antara mereka bukanlah hanya jumlah pakan, melainkan seberapa besar keleluasaan bergerak yang dimiliki dan seberapa absolut keamanan struktural yang dijamin.
1. Ayam Kampung: Bebas Maksimal, Risiko Absolut
Ayam Kampung (Kelas Bawah) mewakili kelompok yang hidup hampir sepenuhnya liar. Mereka mencari makan sendiri (scavenging), yang berarti menu mereka bervariasi—menggambarkan kemampuan adaptasi dan mencari peluang sekecil apa pun. Kebebasan bergerak ini adalah mobilitas horizontal terpaksa, dorongan untuk terus berpindah tempat demi survival.
Namun, kebebasan ini dibayar mahal: mereka tidak memiliki kandang formal. Inilah yang membuat mereka rawan penggusuran paksa (Ayam Kampung adalah yang paling rentan kehilangan hak atas tempat tinggal). Kerentanan politik dan hukum ini menghilangkan aset hunian dan merusak jaringan sosial.
Secara sosial, mereka menunjukkan ciri unik: meskipun bersaing internal, mereka saling membantu dalam menghadapi ancaman luar. Ini adalah inti dari Modal Sosial—kepercayaan dan gotong royong—yang menjadi benteng pertahanan non-ekonomi satu-satunya bagi kelas ini. Mereka adalah kelompok yang paling bergantung pada solidaritas untuk bertahan hidup.
2. Ayam Koloni: Terjepit di Antara Gaji dan Gaya Hidup
Ayam Koloni (Kelas Menengah) hidup dalam kandang komunal dengan area umbaran yang terbatas. Mereka mendapatkan pakan secara rutin (terprogram), yang identik dengan pendapatan upah bulanan (wage labor) yang menjadi sandaran hidup kelas menengah.
Ketergantungan pada pakan terprogram ini membawa risiko baru. Mereka menghadapi persaingan internal yang sengit dalam kandang komunal. Dalam konteks sosial, persaingan ini termanifestasi sebagai tekanan budaya konsumtif. Mereka terdorong untuk membeli barang mewah dan “pamer” demi meningkatkan status sosial, yang ironisnya, menjebak mereka dalam siklus utang konsumtif.
Menurut pakar, kondisi ini dikenal sebagai middle-class squeeze, di mana kelas menengah terjepit di antara inflasi dan tuntutan gaya hidup. Keterbatasan gerak fisik mereka (area umbaran terbatas) melambangkan keterbatasan kesempatan yang tersedia, sehingga risiko finansial (penurunan kelas atau social sinking) menjadi ancaman nyata.
3. Ayam Intensif: Keamanan Absolut, Kebebasan Minimal
Ayam Intensif (Kelas Atas) hidup sepenuhnya dalam kandang individual, tanpa area umbaran. Ini adalah pilihan sadar: menukarkan kebebasan fisik demi keamanan finansial mutlak.
Mereka menikmati pakan intensif berkualitas premium—aset dan kekayaan yang menghasilkan bibit, telur, dan daging berkualitas tinggi. Ciri utama mereka adalah tidak ada persaingan dan dikontrol penuh. Isolasi ini mencerminkan bagaimana kekayaan mereka dikelola secara profesional melalui Wealth Management, yang menjamin aset aman dari risiko tak terduga (asuransi) dan meminimalkan beban pajak secara sah. Investasi mereka diarahkan pada properti dan obligasi negara, yang menawarkan perlindungan tinggi terhadap inflasi.
Dari sisi politik, meskipun mereka terisolasi, negara tetap berupaya mengatur “kandang” mereka. Wacana Pajak Kekayaan (yang diusulkan dapat menambah penerimaan negara puluhan triliun) adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan. Namun, resistansi dari elite dan tantangan teknis valuasi aset (saham tertutup, properti) menjadi penghambat utama efektivitas pajak progresif ini.
Kesimpulan: Kontestasi Ruang dan Risiko
Metafora Tiga Kandang Ayam menegaskan bahwa perbedaan kelas sosial di era modern ditentukan oleh bagaimana struktur sosial mengalokasikan ruang dan risiko.
- Ayam Kampung memiliki kebebasan ruang gerak (mobilitas tinggi) tetapi dengan risiko kerugian aset dan nyawa yang ekstrem, yang hanya bisa ditanggulangi melalui solidaritas.
- Ayam Koloni memiliki jaminan pakan yang lebih baik (gaji), tetapi terperangkap dalam keterbatasan ruang, tekanan sosial yang tinggi, dan utang konsumtif, membuat mereka menjadi kelas yang paling rapuh di tengah ketidakpastian ekonomi.
- Ayam Intensif memilih isolasi dan keterbatasan gerak demi keamanan aset total, tempat risiko dikelola secara individual dan profesional.
Metafora ini sangat relevan untuk menganalisis masyarakat Indonesia kontemporer dengan tingkat ketimpangan yang tinggi dan urbanisasi masif. Sebaliknya, metafora ini akan kehilangan daya jelajahnya jika diterapkan pada sistem kasta tertutup atau pada negara-negara yang memiliki jaring pengaman sosial (welfare state) yang sangat kuat, di mana perbedaan dalam jaminan hidup nyaris tidak ada.
Pemahaman atas “desain kandang” ini penting bagi pembuat kebijakan, sebab upaya mengatasi ketimpangan harus melampaui sekadar bantuan tunai, melainkan harus fokus pada jaminan hak atas ruang dan pengurangan kerentanan struktural bagi mereka yang hidup bebas di lingkungan liar.
Penulis: Wignya Cahyana

