Ancaman Proyek Energi Panas Bumi

Tulisan ini melanjutkan Pariwisata Berkelanjutan vs Pariwisata Massal

Ancaman kelestarian alam Gunung Lawu bukan sekadar adanya ekspansi pariwisata massal. Jauh sebelum itu, masyarakat yang tergabung dalam jaringan Forum Rakyat Peduli Gunung Lawu (FRPGL) dengan mengusung #JagaLawu, sudah menyuarakan protes sejak adanya rencana eksplorasi energi panas bumi atau geothermal sekitar 2016.

Gunung Lawu, yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, masuk dalam rencana pengembangan ‘energi ramah lingkungan’ Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) melalui PT. Pertamina Geothermal Energy. Perusahaan tersebut adalah anak perusahaan PT. Pertamina Power Indonesia (PPI) dan bagian subholding Power and New and Renewable Energy PT. Pertamina.

Proyek ini dimulai sejak tahun 2016 di bawah kewenangan Pemerintah Pusat. Rencana eksplorasinya mencakup beberapa wilayah seperti Kabupaten Karanganyar, Sragen, Wonogiri di Jawa Tengah, serta Kabupaten Magetan dan Ngawi yang ada di wilayah administratif Jawa Timur.

Proyek penambangan panas bumi yang akan memakan lahan seluas 60.030 hektar itu belum mendapatkan izin yang diperlukan untuk melanjutkan tahap eksplorasi dan pengembangan. Salah satunya adalah belum lengkapnya kajian terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana disyaratkan UU No. 32 Tahun 2009. Hal tersebut mengingat kekhawatiran akan dampaknya terhadap ekosistem Gunung Lawu yang merupakan kawasan konservasi penting. Ini menjadi dasar penghentian eksplorasi pada 2021.

Selain berdampak pada lingkungan seperti keanekaragaman hayati dan kawasan hutan lindung, proyek berlabel pengadaan energi bersih ini juga akan mengancam situs cagar budaya yang ada di sekitarnya. Karanganyar memiliki 17 cagar budaya yang tersebar di lereng-lereng Gunung Lawu, yaitu Candi Sukuh, Situs Cemoro Bulus, Situs Cemoro Pogog, Candi Planggatan, Makam Girilayu, dan Astana Mangadeg. Kemudian ada pula Situs Watu Kandang, Situs Plosorejo, Situs Giyanti, Masjid Darul Muttaqin, Situs Candi Buntar, Situs Plumbon, Situs Kandang Pakem, Wana Wisata Sekipan, Situs Menggung, Candi Cetho, hingga Candi Kethek.

Lebih dari itu; sumber mata pencaharian warga barang tentu akan terdampak pula. Di samping bertani, warga sekitar juga sudah lama menggantungkan hidup dari sektor pariwisata seperti penyediaan penginapan, outbound, kuliner, camping, hingga pendakian dengan tetap menjaga kelestarian alam. Masuknya rencana proyek geothermal dengan dalih energi ramah lingkungan tentu akan mengancam sumber penghidupan dan kekayaan alam sekitar.

Mbah Kluntung (kiri), Wawan (kanan)

“Presidennya sopo wae, bupatinya sopo wae sing menyetujui masalah geothermal, kita tentang, kita tolak, kita serang rame-rame.”

Meskipun proyek geothermal ini sudah dinyatakan berhenti dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar juga ikut menolak, namun tidak menutup kemungkinan berpotensi masuk kembali dengan nama atau titik lokasi yang berbeda.

“Kalau geothermalnya menolak, tapi investasi wisata seperti ini karena kebutuhan APBD. Maksud dia (Bupati Karanganyar) mengijinkan Jembatan Kaca itu memang biar dibangun dulu sama pihak ketiga,” ujar Faisal, salah satu panitia yang juga anggota Jaga Lawu.

Hal ini juga disampaikan Aan, yang aktif sebagai ketua FRPGL. Meskipun Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda soal larangan eksploitasi geothermal, dengan adanya UU Ciptaker yang dilahirkan Pemerintahan Joko Widodo, berpotensi menyapu semua aturan di daerah. “Kalau di tingkat kabupaten baru Perda, tapi kemudian adanya UU Ciptaker ini menjadi carut marut.”

Dalam sesi talk show juga hadir Mbah Kluntung, salah satu sosok orang tua yang cukup vokal dalam menyuarakan soal geothermal maupun eksploitasi lain seperti pariwisata massal. Dalam orasinya, Mbah Kluntung menyerukan pada generasi muda agar jangan takut menjaga lingkungan sekalipun banyak ancaman yang datang.

“Kadang perjuangan yang berat itu untuk menyadarkan masyarakat bahwasanya air itu lebih penting dari duit. Duit penting, tapi lingkungan hidup yang aman dari bencana itu lebih penting,” tegasnya. “Presidennya sopo wae, bupatinya sopo wae sing menyetujui masalah geothermal, kita tentang, kita tolak, kita serang rame-rame.”

Seiring berjalannya waktu, gerakan Jaga Lawu yang awalnya menolak geothermal, kini bersama Kepal dan para generasi muda terus menyerukan penolakan atas masifnya pariwisata maupun eksploitasi alam lainnya yang sama-sama ekstraktif dan mengancam kelangsungan ruang hidup.

Baca bagian pertama Revolt Vol. 2: Upaya Kaum Muda Lereng Lawu Melawan Eksploitasi Alam Lewat Skena Musik Bawah Tanah

Penulis: Toto Sudiarjo

Editor: Fiorentina Refani

Skip to content