Tulisan ini melanjutkan Revolt Vol. 2: Upaya Kaum Muda Lereng Lawu Melawan Eksploitasi Alam Lewat Skena Musik Bawah Tanah
Landri, pemuda dari Kelompok Peduli Alam Lereng Lawu (Kepal), sejak 2018 sudah aktif menyuarakan penolakan atas pembukaan perkebunan teh milik PT. Rumpun Sari Kemuning (RSK) sebagai wilayah tangkapan air warga sekitar menjadi area terbuka dan bangunan permanen.
Suara penolakan yang bermula sejak 2018 itu makin masif gaungnya pada 2022; pasca banyak dikerahkannya alat berat untuk pembukaan lahan. Pembukaan lahan itu dimaksudkan untuk akses jalan Margo Mulyo sebagai pintu utama wisata. Salah satunya pengembangan wisata Jembatan Kaca Kemuning Sky Hills.
Awalnya pihak Pemerintah Desa Kemuning bersama-sama menolak rencana itu. Bahkan sejak 2019 warga pun sukses memblokir proyek itu. Desa-desa sekitar kemudian mengajukan HGU karena masa perpanjangan konsesi perusahaan perkebunan teh PT. RSK sudah habis.
Namun, pada pertengahan 2023, ekspansi proyek wisata kembali berjalan. Hal itu ditengarai dengan diberikannya CSR berupa sebidang lahan dari PT. RSK pada beberapa desa sekitarnya. Pemerintah Desa Kemuning yang awalnya satu suara dalam penolakan sayangnya berbalik arah. “Kita menolak sekarang. Respons (pemerintah) Desa sudah gak kaya dulu, sudah cuek, wis sakarepmu. Justru yang mengawali pembukaan lahan kebun teh itu (pemerintah) Desa itu sendiri,” ungkap Landri.
Gigihnya aksi penolakan tersebut membuat Landri yang aktif sebagai pengurus Bumdes pun perlahan mulai disingkirkan oleh pihak Pemerintah Desa. Begitu juga Galang, sebagai Ketua Kepal yang juga aktif di KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) ikut disingkirkan.
Selain dua orang tersebut, Wiryawan selaku Ketua Pokdarwis setempat ikut terkena imbasnya, yaitu dengan tidak diterbitkannya SK dari Pemerintah Desa. Sejak saat itu, hubungan masyarakat yang menolak dengan Pemerintah Desa semakin memanas.
Meski tak didukung pihak desa, aksi protes yang dilakukan warga justru semakin masif dilakukan mulai dari audiensi di tingkat desa hingga kecamatan. Puncaknya pada 7 Maret 2024, ratusan warga mendatangi kantor Bupati Karanganyar untuk menuntut aktivitas perusakan alam yang menyebabkan munculnya bencana di Kemuning mulai banjir, longsor, hingga debit air berkurang dan keruh.
Mereka terus menyuarakan atas ancaman eksploitasi alam yang terjadi di kampungnya meski Pemerintah Desa tak lagi satu suara.“Didukung ataupun tidak didukung, kami akan mengawal kepentingan kita bersama untuk menjaga lingkungan kita tetap lestari. Yang ikut monggo, yang tidak ikut tidak masalah,” seru Wiryawan yang sering dipanggil Wawan.
“Kita menolak sekarang. Respons (pemerintah) Desa sudah gak kaya dulu, sudah cuek, wis sakarepmu. Justru yang mengawali pembukaan lahan kebun teh itu (pemerintah) Desa itu sendiri.”
Penolakan tersebut juga terkait dengan adanya eksplorasi pertambangan sumur bor untuk pembangunan pondok pesantren besar. Selain melakukan alih fungsi lahan dengan membuka lahan perkebunan teh di Segoro Gunung, hal tersebut juga akan mengancam sumber Mata Air Suren di hulu yang selama ini menghidupi warga sekitar Kemuning.
“Kalau santrinya sampai ribuan orang, sumur bor itu nanti keluar airnya disedot dengan mesin segede-gedenya. Gak usah nunggu lama, sebulan (sudah) kering,” papar Wawan.
Menurutnya, proyek sumur bor itu sudah memakan 4 hektar lahan dari 10 hektar. Jika setelah dilakukan pengeboran dan sumber airnya sesuai, maka pembangunan pondok pesantren ini akan dilanjutkan dengan mencapai luasan 50 hektar. Dari penguasaan lahan seluas itu, ditambah potensi menyerobot sumber air warga, maka tak ayal apabila warga sekitar pun memprotesnya.
Buntut dari aksi tersebut, sekitar tujuh orang dipanggil ke Mapolres Karanganyar pada Selasa (4/6/2024), atas laporan dari Direktur PT. RSK, Andri Nurul Huda. Landri dan Galang dituduh telah melanggar UU ITE dengan menyebarkan berita bohong di media sosial. Sementara lima orang lainnya dikenai dakwaan perusakan atas fasilitas pertambangan sumur bor.
“Kritiknya di Perhutani yang tidak tegas. Masuknya alat berat ke areal Perhutani kan sebenarnya gak boleh, di sini aturannya begitu,” kata Faisal, salah satu yang aktif di gerakan Jaga Lawu.
Lanjutkan baca mengenai Ancaman Geothermal di Lawu
Penulis: Toto Sudiarjo
Editor: Fiorentina Refani